Untuk diketahui, ancaman dan serangan siber merupakan tantangan terbesar bagi organisasi di dunia pada era digital seperti saat ini. Pasalnya, dapat mengancam kerahasiaan data dan informasi penting baik di level individu maupun organisasi di organisasi tempat kita bekerja.
Selain itu, data dan informasi menjadi lebih rentan terhadap kebocoran, pencurian, modifikasi atau penghapusan. Selain itu, pandemi COVID-19 telah secara drastis mengubah peran teknologi dalam kehidupan sehari-hari, membuat ketahanan siber menjadi lebih relevan dan penting dari sebelumnya.
Goutama Bachtiar, IT Advisory Director Grant Thornton Indonesia mengatakan peningkatan aktivitas digital di masa pandemi berbanding lurus dengan peningkatan serangan dan ancaman siber. Temuan itu tidak hanya di Indonesia, tetapi juga secara global.
Bachtiar juga mengatakan, maraknya penipuan, penipuan dan kejahatan siber disertai dengan temuan kurangnya literasi digital terkait keamanan siber, baik di tingkat masyarakat maupun institusi, khususnya pengguna produk dan layanan berbasis teknologi informasi dan komunikasi.
Dia juga menyebutkan bahwa modus penipuan dan kejahatan dunia maya yang paling umum termasuk hacking, spoofing, skimming, defacing (mengganti atau memodifikasi halaman web), phishing, BEC (business email kompromi). , dan rekayasa sosial (social engineering).
Selain itu, kata Bachtiar, sektor keuangan merupakan sektor industri yang paling sering terjadi insiden dan serangan siber.
“Phishing merupakan salah satu jenis serangan siber yang umum terjadi di Indonesia. Jenis kejahatan siber ini memanfaatkan psikologi korban dan juga informasi seperti e-mail, telepon dan pesan singkat yang bertujuan untuk mengelabui korban agar memberikan data-data sensitif di berupa informasi login uang elektronik, dompet elektronik, BNPL (Beli Sekarang Bayar Nanti), perbankan digital, serta detail kartu debit dan debit,” kata Goutama Bachtiar dalam rilis perusahaan.